Di balik gemerlap sejarah Walisongo yang telah mengakar dalam sanubari masyarakat Nusantara, tersimpan sosok yang kerap luput dari sorotan namun memiliki peran fundamental dalam perjalanan Islamisasi tanah Jawa. Dialah Syekh Jumadil Kubro—seorang ulama yang namanya terserak dalam berbagai babad dan cerita rakyat, bagaikan mutiara tersembunyi yang menunggu untuk diungkap kembali.

Dari Samarkand ke Nusantara: Perjalanan Seorang Leluhur
Kisah ini dimulai di tahun 1349 Masehi, ketika seorang bayi lahir di sebuah desa dekat Bukhara, dalam wilayah Samarkand yang kini menjadi bagian Uzbekistan. Bayi itu diberi nama Jamaluddin al-Husain al-Akbar—nama yang kelak akan mengalami transformasi menjadi “Jumadil Kubro” melalui perjalanan panjang lintas budaya dan bahasa.
Samarkand pada masa itu bukanlah sekadar nama geografis biasa. Kota ini merupakan jantung peradaban Islam, pusat keilmuan yang gemilang di bawah naungan Dinasti Abbasiyah. Sebelum invasi Mongol yang menghancurkan pada abad ke-13, kota ini telah melahirkan para ulama besar yang pengaruhnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Di tengah atmosfer keilmuan yang kental inilah, sosok yang kelak dikenal sebagai Syekh Jumadil Kubro menimba ilmu dan membentuk kepribadiannya.
Namun, siapakah sebenarnya sosok di balik nama yang telah mengalami berbagai variasi penyebutan ini? Martin van Bruinessen, seorang orientalis terkemuka, dalam penelitiannya tahun 1994 mengungkap bahwa “Jumadil Kubro” sesungguhnya adalah hasil dari apa yang disebutnya sebagai “perubahan hyper-correct” dari nama asli Jamaluddin Akbar. Sebuah fenomena linguistik yang kerap terjadi ketika sebuah nama melintasi berbagai budaya dan bahasa.
Temuan Revolusioner: Jejak Darah Sang Gubernur Yunnan
Namun, terobosan paling mengejutkan dalam penelusuran identitas Syekh Jumadil Kubro datang dari kerja keras tim yang dipimpin oleh TunSuzana Hj. Othman, bekerja sama dengan Tim Naqobah Ansab Auliya Tis’ah (NAAT) dan Biro Penyelidikan dan Tugas Khas dari Dunia Melayu Dunia Islam. Penelitian mendalam yang dituangkan dalam buku “Riwayat dan Silsilah Syaikh Jumadil Kubra” ini membuka lembaran baru yang mengejutkan dunia akademis.
Melalui penelusuran manuskrip-manuskrip kuno dari Yunnan, Jawa, dan catatan Naqobah as Saadah Al Asyraf Pakistan, tim peneliti menemukan fakta mencengangkan: Syekh Jumadil Kubro ternyata memiliki garis keturunan yang terhubung dengan Sayyid Al Ajall Syamsudin Umar, seorang Gubernur Yunnan yang memiliki darah Tionghoa. Temuan ini mengubah total pemahaman kita tentang asal-usul sang patriark Islam Nusantara.
Penemuan ini bukan sekadar menambah kekayaan data genealogis, melainkan membuka perspektif baru tentang kompleksitas perjalanan Islam di Asia. Syekh Jumadil Kubro, dengan darah campuran Asia Tengah dan Tionghoa yang mengalir dalam nadinya, menjadi simbol hidup dari universalitas Islam yang melampaui batas-batas etnis dan geografis.
Leluhur Para Wali: Fondasi Yang Tersembunyi
Para sejarawan telah lama sepakat bahwa Syekh Jumadil Kubro menempati posisi unik sebagai ulama pra-Walisongo. Lebih dari itu, Babad Cirebon dengan tegas menyatakan bahwa beliau adalah buyut dari semua Walisongo—sebuah klaim yang menempatkannya sebagai akar genealogis dari para penyebar Islam yang paling dihormati di tanah Jawa.
Posisi ini bukan sekadar kehormatan simbolis. Syekh Jumadil Kubro adalah arsitek sesungguhnya dari model dakwah Islamisasi di Nusantara. Jauh sebelum para Walisongo memulai misi mereka, beliau telah meletakkan fondasi metodologi dakwah yang kemudian diadopsi dan disempurnakan oleh para penerusnya. Model pendidikan Islam yang dikembangkannya menjadi instrumen transformasi nilai yang efektif, khususnya di tengah masyarakat Majapahit yang kompleks.
NAAT: Merajut Kembali Benang yang Terputus
Dalam konteks inilah peran NAAT (Naqobah Ansab Auliya Tis’ah) menjadi sangat krusial. Organisasi yang mengusung visi “Mengumpulkan yang terserak” ini tidak hanya bekerja untuk menyambung silsilah keturunan Walisongo, tetapi juga menghadirkan kembali sosok-sosok seperti Syekh Jumadil Kubro yang selama ini tersembunyi di balik tirai sejarah.
Kerja sama antara NAAT dengan peneliti internasional seperti TunSuzana Hj. Othman menunjukkan komitmen serius dalam mengungkap kebenaran sejarah melalui metodologi ilmiah yang ketat. Penelusuran manuskrip dari berbagai negara—Yunnan, Jawa, dan Pakistan—mendemonstrasikan bahwa sejarah Islam Nusantara tidak bisa dipahami secara parsial, melainkan harus dilihat dalam konteks jejaring global yang kompleks.
Warisan yang Hidup
Temuan tentang asal-usul Syekh Jumadil Kubro dari garis keturunan Sayyid Al Ajall Syamsudin Umar bukan sekadar menambah catatan sejarah. Ia membuka pemahaman baru bahwa Islam Nusantara sejak awal telah lahir dari pertemuan berbagai peradaban—Asia Tengah, Tiongkok, Arab, dan lokal Nusantara. Syekh Jumadil Kubro, dengan darah majemuk yang mengalir dalam nadinya, menjadi personifikasi dari karakter Islam Nusantara yang inklusif dan kosmopolitan.
Sosok ini mengajarkan bahwa kebesaran sebuah peradaban tidak lahir dari kemurnian ras atau budaya, melainkan dari kemampuan menyerap, mengolah, dan mentransformasi berbagai kekayaan peradaban menjadi sintesis baru yang lebih kaya dan bermakna.
Melalui kerja keras NAAT dan para peneliti, jejak Syekh Jumadil Kubro kini mulai terangkat dari kegelapan sejarah. Ia bukan lagi sekadar nama dalam babad-babad kuno, melainkan sosok nyata yang memberikan kontribusi fundamental bagi peradaban Islam Nusantara. Dan dalam setiap langkah penelusuran yang dilakukan NAAT, semangat leluhur para wali ini seolah hidup kembali—mengumpulkan yang terserak, menyambung yang terputus, dan merajut kembali benang emas sejarah yang telah lama terlupakan.
*Artikel ini disusun berdasarkan penelitian dalam buku “Riwayat dan Silsilah Syaikh Jumadil Kubra” oleh TunSuzana Hj. Othman, Tim NAAT, dan Biro Penyelidikan dan Tugas Khas (Dunia Melayu Dunia Islam), serta berbagai sumber sejarah terkait.